Upaya Guru Membangun Generasi Antihoax
Oleh
Erry Trisna Nurhayana,
S.Pd
(Guru SD Negeri 14
Pemecutan, Denpasar, Bali)
Era globalisasi berkembang sangat cepat dalam berbagai bidang. Salah satunya
adalah perkembangan teknologi informasi. Teknologi informasi yang berkembang
mencipakan bentuk masyarakat baru yang dikenal dengan sebutan digital nitizen.
Siapa sajakah yang termasuk di dalamnya? Mereka adalah pengguna aktif internet
yang berasal dari kalangan anak-anak hingga dewasa.
Survei yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai
132,7 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk
mengakses jejaring sosial. Selain itu, Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam hasil surveinya adalah tiga
(3) media sosial yang paling banyak dikunjungi. Di urutan pertama di tempati
oleh Facebook dengan pengguna
sebanyak 71,6 juta. Kemudian Instagram
menempati posisi kedua dengan juta19,9 juta pengguna, dan di tempat ketiga oleh
Youtube sebanyak 14,5 juta pengguna (Liputan6.com, 2016).
Besarnya penggunaan internet di Inonesia memberi dampak
positif seperti: 1) informasi yang terjadi dapat disebarkan secara instan dan
cepat, 2) menjangkau wilayah yang sangat luas, 3) memberi kemudahan akses
informasi tentang isu-isu terkini. Selain dampak positif, dampak negatif yang
sangat besar terjadi adalah penyebaran informasi yang tidak benar (hoax) yang dapat memunculkan keresahan
di kalangan pembaca. Bagai mata pisau yang memiliki dua sisi. Mudahnya mengakses
layanan internet, tidak terlepas dari mudahnya mendapatkan perangkat
pengaksesnya, baik berupa komputer, laptop, dan smartphone. Tak dapat dipungkiri bahwa, keberadaan smartphone saat
ini menjadi kebutuhan bagi berbagai kalangan, tidak terkecuali anak-anak
sekolah dasar.
Pengguna smartphone Indonesia juga bertumbuh dengan
pesat (www.kominfo.go.id). Hasil
pengamatan penulis, selaku guru di Kota denpasar menemukan bahwa hampir 90%
siswa di kelas tempat penulis mengajar memiliki smartphone, dan terbiasa melakukan browsing di internet. Melihat kondisi ini, tidaklah mengherankan
jika penyebaran informasi terjadi secara cepat. Lantas, bagaimana agar
terhindar dari dampak negatif media sosial? Selain mengajar, guru memiliki
tugas untuk mendidik siswa agar menjadi pribadi yang lebih baik. Hasil
wawancara guru dengan siswa menemukan bahwa siswa cenderung mudh menyebarkan
berita yang diterima melalui aplikasi pesan cepat (chat apps) seperti WhatsApp, Line, dan BBM. Mudahnya melakukan broadcast menjadi salah satu penyebab
cepatnya penyebaran informasi. Penyebaran informasi ini tidak dapat dibendung
dengan mudah. Ada kecenderungan bahwa siswa sangat senang melakukan share, hanya membaca judul berita, dan
sangat heboh bercerita tentang sebuah berita. Misalnya, saat maraknya daftar
minuman penyebab kanker yang tersebar di media sosial.
Selaku guru, penulis pernah menerima broadcast dari siswa tentang bahaya
makanan yang dikonsumsi bersamaan.Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menggangu
kenyamanan belajar di sekolah, khususnya kantin. Namanya siswa, mereka selalu
bercerita tentang hal-hal baru yang mereka dengar. Upaya apa yang bisa
dilakukan? Berita hoax pada dasarnya
merupakan berita yang kebenarannya diragukan dan dapat menimbulkan perasaan
marah, benci, dan ketakutan setelah membaca/melihatnya. Bayangkan pada saat
itu, kebanyakan siswa enggan membeli minuman yang termasuk dalam daftar berita hoax. Antisipasi yang dilakukan guru adalah
mengedukasi siswa untuk mampu membedakan berita asli atau hoax.
Pertama, siswa dikenalkan dengan
ciri-ciri berita. Berita memiliki konten positif dan konten negatif. Berita
dengan konten positif memiliki ciri-ciri antara lain: 1) menggunakan kalimat
yang jelas, dan mudah dipahami; 2) berita didasarkan pada fakta dan kejadian yang dapat dilihat, didengar,
atau dirasakan, bukan berdasarkan pendapat saja; 3) tidak mengadu domba dan
menimbulkan perpecahan; 4) sumber beritanya jelas dan dapat dipercaya.
Sedangkan, ciri-ciri berita negatif yaitu: 1) kalimat yang digunakan
membingungkan dan menimbulkan banyak persepsi bagi pembaca; 2) lebih banyak
menggunakan opini daripada fakta; 3) bersifat provokatif, mengadu domba,
menjelekkan, dan menghasut; dan 4) sumber berita tidak jelas atau tidak dapat
dipercaya. Bagi guru, mengenalkan ciri-ciri berita ini menjadi langkah awal
kepada siswa untuk bijak melihat berita, sehingga mereka dapat menentukan
kategori berita yang layak untuk dibaca maupun disebarkan.
Kedua, ajak siswa untuk
mendeteksi berita hoax. Berita hoax mudah dikenali dengar cara
melakukan deteksi berikut. 1) Cek url/link berita. Biasanya, berita yang
mengandung unsur hoax memiliki
url/link yang aneh. 2) Cek situs yang mengeluarkan berita. Seperti halnya berita
hoax tentang makanan, situs resmi
yang berhak mengeluarkan informasi tersebut adalah BPOM, bukan situs-situs yang
lain. Dalam kasus ini, kenalkan kepada siswa berbagai situs resmi yang ada di
Indonesia. 3) Lakukan pengecekan terhadap media lain. Jika beritanya benar,
maka media lain tentu akan menampilkan berita yang sama. Untuk itu, perlu
melakukan pencarian berita dengan situs media yang berbeda. 4) Lihat tata cara
penulisannya. Berita asli menggunakan ejaan bahasa Inonesia yang benar. Berita hoax cenderung menggunakan kata-kata
menghasut, menggunakan banyak tanda seru, dan tulisan dengan banyak huruf
kapital. 5) Carilah informasi tentang penulisnya. Penulis/narasumber bertita
perlu di cek kebenarannya. Caranya adalah dengan melalukan googling nama penulis/narasumber.
Ketiga, ajak siswa membuat poster/berita
yang benar. Membuat berita yang benar harus dilatih sejak awal. Bagi guru,
muatan pelajaran Bahasa Indonesia tentang membuat iklan, membuat laporan
pengamatan, dan poster dapat dijadikan cara untuk melatih siswa
mengidentifikasi berita, dan membuat berita yang benar. Poster menjadi salah
satu bentuk media yang dapat digunakan untuk mengkampanyekan anti berita hoax.
Keempat, buatlah group media
sosial. Perkembangan media sosial tidak dapat dicegah oleh guru. Guru tidak
bisa membatasi siswa untuk menggunakan media sosial. Namun, membuat group dapat
dijadikan sebagai wadah mengontrol siswa ketika membagikan sebuah berita. Di
awal pembuatan group ini, guru menjelaskan fungsi group sebagai wadah
mengidentifikasi berita. Cara ini merupakan bentuk dari literasi media digital.
Melalui group media sosial, siswa diajak untuk mengidentifikasi berita yang
sedang berkembang dan hangat dibicarakan. Jika berita “itu” termasuk hoax, maka siswa dilarang untuk
menyebarkan, dan siswa mendapat tugas untuk menginformasikan bahwa berita “itu”
termasuk hoax.
Perkembangan teknologi dan informasi memnag harus
disikapi secara bijak. Selain di sekolah, keluarga memiliki peranan sangat
penting dalam perkembangan informasi yang layak dikonsumsi oleh anak. Berita hoax yang menajdi penyebab keresahan
masyarakat menjadi tanggung jawab bersama. Mari, jadilah warga digital yang
melek terhadap literasi media sosial. Gunakan media sosial dengan bijak.selain
itu, belajarlah membaca berita secara utuh, mengingat banyak judul berita yang
tidak sesuai isinya. Inilah salah satu faktor penyebaran berita hoax semakin marak. Ayo, bangun
kesadaran bermedia siosial mulai dari diri sendiri.
Daftar Rujukan
http://tekno.liputan6.com/read/2634027/3-media-sosial-favorit-pengguna-internet-indonesia diakses tanggal 8 November
2017
https://www.kominfo.go.id/content/detail/6095/indonesia-raksasa-teknologi-digital-asia/0/sorotan_media diakses tanggal 8 November
2017
#antihoax
#marimas
#pgrijateng
EmoticonEmoticon