Upaya Guru Membangun Generasi Antihoax

November 10, 2017
Upaya Guru Membangun Generasi Antihoax

Oleh

Erry Trisna Nurhayana, S.Pd
(Guru SD Negeri 14 Pemecutan, Denpasar, Bali)


Era globalisasi berkembang sangat cepat dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah perkembangan teknologi informasi. Teknologi informasi yang berkembang mencipakan bentuk masyarakat baru yang dikenal dengan sebutan digital nitizen. Siapa sajakah yang termasuk di dalamnya? Mereka adalah pengguna aktif internet yang berasal dari kalangan anak-anak hingga dewasa.
Survei yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 132,7 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Selain itu, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam hasil surveinya adalah tiga (3) media sosial yang paling banyak dikunjungi. Di urutan pertama di tempati oleh Facebook dengan pengguna sebanyak 71,6 juta. Kemudian Instagram menempati posisi kedua dengan juta19,9 juta pengguna, dan di tempat ketiga oleh Youtube sebanyak 14,5 juta pengguna (Liputan6.com, 2016).
Besarnya penggunaan internet di Inonesia memberi dampak positif seperti: 1) informasi yang terjadi dapat disebarkan secara instan dan cepat, 2) menjangkau wilayah yang sangat luas, 3) memberi kemudahan akses informasi tentang isu-isu terkini. Selain dampak positif, dampak negatif yang sangat besar terjadi adalah penyebaran informasi yang tidak benar (hoax) yang dapat memunculkan keresahan di kalangan pembaca. Bagai mata pisau yang memiliki dua sisi. Mudahnya mengakses layanan internet, tidak terlepas dari mudahnya mendapatkan perangkat pengaksesnya, baik berupa komputer, laptop, dan smartphone. Tak dapat dipungkiri bahwa, keberadaan smartphone saat ini menjadi kebutuhan bagi berbagai kalangan, tidak terkecuali anak-anak sekolah dasar.
Pengguna smartphone Indonesia juga bertumbuh dengan pesat (www.kominfo.go.id). Hasil pengamatan penulis, selaku guru di Kota denpasar menemukan bahwa hampir 90% siswa di kelas tempat penulis mengajar memiliki smartphone, dan terbiasa melakukan browsing di internet. Melihat kondisi ini, tidaklah mengherankan jika penyebaran informasi terjadi secara cepat. Lantas, bagaimana agar terhindar dari dampak negatif media sosial? Selain mengajar, guru memiliki tugas untuk mendidik siswa agar menjadi pribadi yang lebih baik. Hasil wawancara guru dengan siswa menemukan bahwa siswa cenderung mudh menyebarkan berita yang diterima melalui aplikasi pesan cepat (chat apps) seperti WhatsApp, Line, dan BBM. Mudahnya melakukan broadcast menjadi salah satu penyebab cepatnya penyebaran informasi. Penyebaran informasi ini tidak dapat dibendung dengan mudah. Ada kecenderungan bahwa siswa sangat senang melakukan share, hanya membaca judul berita, dan sangat heboh bercerita tentang sebuah berita. Misalnya, saat maraknya daftar minuman penyebab kanker yang tersebar di media sosial.
Selaku guru, penulis pernah menerima broadcast dari siswa tentang bahaya makanan yang dikonsumsi bersamaan.Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menggangu kenyamanan belajar di sekolah, khususnya kantin. Namanya siswa, mereka selalu bercerita tentang hal-hal baru yang mereka dengar. Upaya apa yang bisa dilakukan? Berita hoax pada dasarnya merupakan berita yang kebenarannya diragukan dan dapat menimbulkan perasaan marah, benci, dan ketakutan setelah membaca/melihatnya. Bayangkan pada saat itu, kebanyakan siswa enggan membeli minuman yang termasuk dalam daftar berita hoax. Antisipasi yang dilakukan guru adalah mengedukasi siswa untuk mampu membedakan berita asli atau hoax.
Pertama, siswa dikenalkan dengan ciri-ciri berita. Berita memiliki konten positif dan konten negatif. Berita dengan konten positif memiliki ciri-ciri antara lain: 1) menggunakan kalimat yang jelas, dan mudah dipahami; 2) berita didasarkan pada fakta  dan kejadian yang dapat dilihat, didengar, atau dirasakan, bukan berdasarkan pendapat saja; 3) tidak mengadu domba dan menimbulkan perpecahan; 4) sumber beritanya jelas dan dapat dipercaya. Sedangkan, ciri-ciri berita negatif yaitu: 1) kalimat yang digunakan membingungkan dan menimbulkan banyak persepsi bagi pembaca; 2) lebih banyak menggunakan opini daripada fakta; 3) bersifat provokatif, mengadu domba, menjelekkan, dan menghasut; dan 4) sumber berita tidak jelas atau tidak dapat dipercaya. Bagi guru, mengenalkan ciri-ciri berita ini menjadi langkah awal kepada siswa untuk bijak melihat berita, sehingga mereka dapat menentukan kategori berita yang layak untuk dibaca maupun disebarkan.
Kedua, ajak siswa untuk mendeteksi berita hoax. Berita hoax mudah dikenali dengar cara melakukan deteksi berikut. 1) Cek url/link berita. Biasanya, berita yang mengandung unsur hoax memiliki url/link yang aneh. 2) Cek situs yang mengeluarkan berita. Seperti halnya berita hoax tentang makanan, situs resmi yang berhak mengeluarkan informasi tersebut adalah BPOM, bukan situs-situs yang lain. Dalam kasus ini, kenalkan kepada siswa berbagai situs resmi yang ada di Indonesia. 3) Lakukan pengecekan terhadap media lain. Jika beritanya benar, maka media lain tentu akan menampilkan berita yang sama. Untuk itu, perlu melakukan pencarian berita dengan situs media yang berbeda. 4) Lihat tata cara penulisannya. Berita asli menggunakan ejaan bahasa Inonesia yang benar. Berita hoax cenderung menggunakan kata-kata menghasut, menggunakan banyak tanda seru, dan tulisan dengan banyak huruf kapital. 5) Carilah informasi tentang penulisnya. Penulis/narasumber bertita perlu di cek kebenarannya. Caranya adalah dengan melalukan googling nama penulis/narasumber.
Ketiga, ajak siswa membuat poster/berita yang benar. Membuat berita yang benar harus dilatih sejak awal. Bagi guru, muatan pelajaran Bahasa Indonesia tentang membuat iklan, membuat laporan pengamatan, dan poster dapat dijadikan cara untuk melatih siswa mengidentifikasi berita, dan membuat berita yang benar. Poster menjadi salah satu bentuk media yang dapat digunakan untuk mengkampanyekan anti berita hoax.
Keempat, buatlah group media sosial. Perkembangan media sosial tidak dapat dicegah oleh guru. Guru tidak bisa membatasi siswa untuk menggunakan media sosial. Namun, membuat group dapat dijadikan sebagai wadah mengontrol siswa ketika membagikan sebuah berita. Di awal pembuatan group ini, guru menjelaskan fungsi group sebagai wadah mengidentifikasi berita. Cara ini merupakan bentuk dari literasi media digital. Melalui group media sosial, siswa diajak untuk mengidentifikasi berita yang sedang berkembang dan hangat dibicarakan. Jika berita “itu” termasuk hoax, maka siswa dilarang untuk menyebarkan, dan siswa mendapat tugas untuk menginformasikan bahwa berita “itu” termasuk hoax.
Perkembangan teknologi dan informasi memnag harus disikapi secara bijak. Selain di sekolah, keluarga memiliki peranan sangat penting dalam perkembangan informasi yang layak dikonsumsi oleh anak. Berita hoax yang menajdi penyebab keresahan masyarakat menjadi tanggung jawab bersama. Mari, jadilah warga digital yang melek terhadap literasi media sosial. Gunakan media sosial dengan bijak.selain itu, belajarlah membaca berita secara utuh, mengingat banyak judul berita yang tidak sesuai isinya. Inilah salah satu faktor penyebaran berita hoax semakin marak. Ayo, bangun kesadaran bermedia siosial mulai dari diri sendiri.


Daftar Rujukan

#antihoax 
#marimas 
#pgrijateng






Share this

Related Posts

Previous
Next Post »