Tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa salah satu tujuan nasional Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan ini, pendidikan memiliki peran strategis untuk mewujudkannya. Pendidikan di Indonesia terlaksana secara berjenjang, mulai tingkat pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Bahkan, mulai Juni 2015 telah dicanangkan program wajib belajar 12 tahun yang semulanya adalah 9 tahun. Artinya, setiap anak di Indonesia berhak mendapatkan pendidikan minimal hingga tingkat sekolah menengah.
Tercapainya kualitas pendidikan wajib belajar, tidak terlepas dari peran guru di sekolah. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015, guru adalah pendidik profesional. Sebagai sebuah profesi, guru berhak mendapatkan perlindungan profesi.
Terkait dengan perlindungan profesi, tidak jarang saat ini muncul kekhawatiran pada benak guru untuk melaksanakan tugasnya sebagai pendidik.
Contoh, seperti dirilis Brilio.net tanggal 26 Mei 2016 seorang guru Biologi di SMPN 1 Bantaeng Sulawesi Selatan harus berurusan dengan hukum. Kejadian bermula ketika Nurmayani, guru Biologi memanggil dua orang siswa bernama Virgin dan Tiara ke ruang Bimbingan Konseling (BK). Kedua siswa ini bermain air sisa pel di lantai. Sesampainya di ruang BK, Nurmayani menghukum dengan “mencubit” paha Tiara. Tidak terima dengan perlakuan guru, Tiara kemudian mengadu kepada ayahnya yang berprofesi sebagai polisi.
Ibu Guru Nurmayani (https://4.bp.blogspot.com) |
Dalam aduannya, Tiara mengaku tidak hanya dicubit melainkan dipukul pada bagian dada, dan pipi, serta dikatakan bahwa Tiara adalah anak setan. Mendengar pengaduan sang anak, Ipda Irwan Efendi melaporkan kasus tersebut ke Polres Bantaeng. Berdasarkan informasi, pihak kepolisian awalnya sudah melakukan mediasi, namun tidak berhasil. Kasus tersebut dilanjutkan ke tingkat pengadilan. Hingga akhirnya, Nurmayani menjadi tahanan titipan Kejaksaan Negeri Bantaeng.
Melihat kasus ini, penulis selaku guru merasa miris. Jika dibandingkan dengan pendidikan pada era 90-an saat menjadi siswa sekolah dasar, “hukuman” yang diberikan guru tentu beralasan. Bagi saya semua dirasakan dalam batas kewajaran, dan penyebab hukuman ini adalah siswa itu sendiri. Hukuman cubit (karena nakal di kelas), membersihkan kamar mandi (karena tidak piket), dihukum berdiri (karena tidak membuat PR) sering terjadi.
Memang benar, kondisi pendidikan era itu sangat berbeda jika dibandingkan dengan pendidikan saat ini. “Hukuman” tidak lagi dianggap sebagai tindakan untuk menumbuhkan disiplin, melainkan dianggap melanggar UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 54 dinyatakan bahwa “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”.
Adanya jaminan ini, tidak jarang orang tua/wali siswa dengan mudahnya mengadu, dan melaporkan kejadian kepada pihak kepolisian. Perilaku menghakimi ini semakin diperkuat dengan dijabarkan empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak, yaitu: “(1) pengabaian, (2) kekerasan fisik, (3) pelecehan emosional/ psikologis, dan (4) pelecehan seksual anak”. Dalam hal ini penulis setuju, jika tindakan guru memang dilakukan dengan sengaja untuk melanggar hak asasi anak, tentu wajib dituntut secara hukum.
Dari sudut pandang Pasal 39 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan bahwa “Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas”. Perlindungan meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Ini berarti, perlindungan terhadap guru ini mencakup perlindungan dari adanya tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, adanya intimidasi dari berbagai pihak. Intimidasi ini bisa muncul dari pihak peserta didik, orang tua, masyarakat, pihak lain yang dapat mengganggu guru dalam melaksanakan tugas.
Terjadinya benturan aturan hukum antara profesi guru dan perlindungan anak, berdampak pada melemahnya perlindungan profesi guru terkait pemberian “hukuman”. Hukuman terhadap siswa menjadi boomerang bagi guru. Timbul kekhawatiran guru jika “hukuman” yang diberikan berujung pada pelanggaran hak asasi anak. Muncul pula opini masyarakat agar guru memberikan hukuman yang sifatnya mendidik. Namun, seperti apa hukuman yang sifatnya mendidik? Bukankah sedikit tindak “keras” mampu memunculkan disiplin? Timbulnya multitafsir dan penggunaan aturan hukum tertentu menyebabkan diskriminasi terhadap perlindungan profesi guru, khususnya saat mengajar.
Besar harapan penulis, agar dibuat batasan yang jelas dan tegas tentang tindakan yang dapat dikatakan melanggar hak asasi anak. Selain itu, pandanglah tindakan “hukuman” yang terjadi di sekolah dari perspektif guru pengajar pada saat itu. Semoga, perlindungan profesi guru semakin jelas dan nyata.
EmoticonEmoticon