Pembelajaran Geometri

July 23, 2017

oleh 
Erry Trisna Nurhayana


PENDAHULUAN
Geometri merupakan pengetahuan dasar yang sudah lama dikenal anak-anak sejak usia dini. Ide-ide geometri sudah dikenal oleh siswa sejak sebelum mereka masuk sekolah. Anak-anak mengenal geometri melalui benda-benda yang memuat bentuk dan konsep geometri atau model-model geometri yang berada dilingkungannya, misalnya: bentuk lapangan sepak bola, bentuk pintu, bentuk jendela, bentuk rumah, bentuk keramik lantai, bentuk buku dan sebagainya. Namun demikian, potensi yang dimiliki anak-anak tentang benda-benda yang berada di sekitar belum dimanfaatkan secara maksimal. Sangat disayangkan hal tersebut hanya dibiarkan begitu saja (Roebyanto dan Harmini, 2006). 

Geometri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual dan spasial, misalnya bidang, pola, pengukuran, dan pemetaan. Kemampuan visualisasi spasial merupakan konsep abstrak yang meliputi persepsi spasial yang melibatkan hubungan spasial termasuk orientasi sampai pada kemampuan yang rumit yang melibatkan manipulasi serta rotasi mental (Tambunan, 2006). Artinya, kemampuan visualisasi spasial sebagai konsep abstrak yang di dalamnya meliputi hubungan spasial (kemampuan untuk mengamati hubungan posisi objek dalam ruang), kerangka acuan (tanda yang dipakai sebagai patokan untuk menentukan posisi objek dalam ruang), hubungan proyektif (kemampuan untuk melihat objek dari berbagai sudut pandang), konservasi jarak (kemampuan untuk memperkirakan jarak antara dua titik), representasi spasial (kemampuan untuk merepresentasikan hubungan spasial dengan memanipulasi secara kognitif), rotasi mental (membayangkan perputaran objek dalam ruang).

Pada jenjang sekolah dasar (SD), materi geometri akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan dari para ahli pendidikan, terutama mengenai proses pembelajarannya di sekolah. Bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa hasil belajar geometri masih rendah (Purnomo, 1999). Senada pendapat tersebut, Sudarman (2000) mengungkapkan bahwa di antara berbagai cabang matematika, geometri menempati posisi yang paling memprihatinkan. Di Amerika Serikat, hanya separuh dari siswa yang ada yang mengambil pelajaran geometri formal. Prestasi siswa yang berkaitan dengan geometri dan pengukuran masih rendah (Bobango, 1993). 

Di Indonesia, prestasi geometri siswa juga tergolong rendah. Bukti-bukti empiris di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar geometri, mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Sudarman (2000) dalam penelitiannnya menunjukkan bahwa prestasi geometri siswa SD masih rendah. 

Roebyanto dan Harmini (2006) menemukan bahwa dalam proses belajar-mengajar matematika, khususnya pembelajaran geometri dipengaruhi faktor eksternal. Faktor eksternal yang dimaksud berasal dari guru. Interaksi maupun aktivitas masih didominiasi guru, sedangkan siswa lebih banyak mendengar, mencatat dan mengerjakan soal latihan. Proses belajarnya terkesan bahwa guru lebih banyak mentransfer pengetahuan dari pikiran guru ke dalam pikiran siswa, sehingga pada akhirnya terjadi verbalisme pada diri siswa. Siswa cenderung hafal gambar suatu bentuk geometri, tanpa dipahami sifat bangun-bangun tersebut.

PEMBAHASAN

Munculnya model Van Hiele berawal dari sangat rendahnya prestasi belajar geometri di sekolah menengah Montessori. Saat itu, Dina Van Hiele-Geldof dan Pierre Marie Van Hiele bekerja sebagai guru di sekolah tersebut (Yazdani, 2007). Mereka kemudian melakukan observasi dan diskusi kepada siswa tentang pembelajaran geometri yang telah dilakukan. Hasil diskusi tersebut, ditulis dalam disertasi berbeda ketika Dina Van Hiele-Geldof dan suaminya Pierre Marie Van melanjutkan studi di Universitas Utrecht pada tahun 1957. Dina Van Hiele-Geldof meninggal dunia tidak lama setelah menyelesaikan disertasinya. Pierre Marie Van Hiele kemudian menjelaskan dengan lengkap tentang teori tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri yang kemudian dikenal dengan model Van Hiele.

Secara internasional model Van Hiele memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri di sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang telah mengubah kurikulum geometri berdasar pada model Van Hiele. Pada tahun 1960-an, Uni Soviet telah melakukan perubahan kurikulum karena pengaruh model Van Hiele . Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh model Van Hiele mulai terasa sekitar permulaan tahun 1970-an (Burger & Shaughnessy, 1986). Sejak tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pada pembelajaran model Van Hiele terus meningkat. Walaupun khusus pembelajaran geometri, model ini memberikan gambaran kepada pendidik untuk memperhatikan jenjang berpikir anak memproses informasi dalam belajar. 

Van Hiele (Usiskin, 1982) memilah level berpikir geometri siswa ke dalam lima tingkatan yaitu: level 0 (visualisasi), level 1 (analisis), level 2 (deduksi informal), level 3 (deduksi), dan level 4 (rigor). Kelima tingkatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

(1) Level 0 (Visualisasi) 
Level ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik, dan tahap visual. Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya sekedar berdasar karakteristik visual dan penampakannya seperti lingkaran, segitiga, segi empat, kotak serta berbagai beda geometri lainnya. Pada tahap pengenalan guru menunjukkan alat peraga berupa bangun-bangun geometri. Agar siswa lebih mengenal bangun-bangun geometri, siswa dihadapkan dengan bangun geometri dan diberikan kesempatan untuk mengamati bangun geometri tersebut. Ini berarti secara eksplisit siswa tidak terfokus pada sifat-sifat obyek yang diamati, tetapi memandang obyek sebagai keseluruhan. Pada tahap ini siswa tidak dapat memahami dan menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan. Jika pada kondisi ini, siswa dihadapkan pada bangun-bangun geometri, maka dapat menunjukkan bentuk segitiga, segi empat, lingkaran, kotak, bola dan bentuk-bentuk lainnya. Pada tahap pengenalan, siswa belum dapat menyebutkan sifat-sifat bangun geometri yang dikenalnya. 

(2) Level 1 (analisis) 
Level ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Pada tahap ini sudah tampak adanya analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Tahap analisis memberikan kondisi kepada siswa untuk dapat menentukan sifat-sifat suatu bangun dengan melakukan pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar dan membuat model. Misalnya, siswa mengetahui banyak sisi pada segi tiga sebanyak tiga buah, sisi pada persegi panjang sebanyak empat buah, sisi pada jajargenjang sebanyak empat buah. Pada tahap ini guru dapat memberikan LKS pada masing-masing kelompok, kemudian siswa mendiskusikan dengan anggota kelompoknya. Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat peraga yang disiapkan oleh guru dengan cermat. Dengan mengamati alat peraga yang berupa bangun geometri, siswa diberikan kesempatan untuk dapat memahami unsur-unsur serta sifat-sifat bangun geometri. Pada tahap ini anak belum mampu menunjukkan hubungan yang terjadi pada setiap bangun geometri. Jika diajukan pertanyaan “apakah persegi panjang adalah jajargenjang? Dalam hal ini, siswa belum mampu memberi jawaban yang tepat. Hal ini karena anak belum memahami hubungan antara bangun satu dengan bangun lainnya. Dengan kata lain bahwa pada tahapan ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. 

(3) Level 2 (Deduksi Informal) 
Level ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap abstrak/relasional, tahap teoritik, dan tahap keterkaitan. Pada tahap ini pemahaman anak lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya. Pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Contoh: anak sudah mengetahui bahwa persegi panjang adalah jajar genjang. Pada tahap ini anak sudah mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal. Artinya, perkembangan dan kemampuan anak belum pada tahap yang baik.

(4) Level 3 (Deduksi) 
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal. Pada tahap ini siswa sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif dengan menarik kesimpulan dari hal bersifat khusus. Siswa dapat menyusun bukti, tidak hanya sekedar menerima bukti. Siswa dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik. Pada tahap ini siswa berpeluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu cara. Matematika adalah ilmu deduktif. Perbedaan antara pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif. Tetapi pada tahapan ini anak belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh karena itu anak pada tahap ini belum bisa menjawab pertanyaan mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil. 

(5) Tahap 4 (Rigor) 
Pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam sistem matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan, aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini sudah memahami sesuatu itu dijadikan postulat. Berdasarkan tingkatan berpikir terkait materi geometri tersebut, setiap tahapan merupakan prasyarat untuk memasuki tahapan selanjutnya. Siswa tidak akan mungkin dapat melampaui tahap 1 jika tidak mengalami proses pada tahap 0. 

Fuys (Pusey, 2003) menyatakan bahwa: “according to the Van Hiele's, the levels can be used to explain why students have difficulties in geometry. They believed that high school geometry involves thinking at a relatively high level and that many students have not had sufficient experiences in thinking at prerequisite lower levels” 

Pendapat ahli tersebut memiliki makna bahwa Van Hiele yakin siswa dapat memperkaya pengalaman dan cara berpikir terkait geometri jika siwa tersebut menguasai dan memahami konsep sebelumnya. Setelah siswa menguasai pemahaman prasyarat, maka siswa meningkatkan tahap berpikirnya ke tahap yang lebih dari tahap sebelumnya. 

Pembelajaran model Van Hiele adalah model pembelajaran yang khusus dikembangkan untuk materi geometri dengan menekankan pada tahapan berpikir siswa. Jika pembelajaran tidak dimulai pada tahap 0 tetapi langsung ke tahap 4 dapat dimungkinkan terjadi mismatch. Mismatch adalah ketidaksesuaian antara pengalaman belajar dengan tahap berpikir siswa. Siswa yang berada pada suatu tahap berpikir, diberi pengalaman belajar sesuai tahap berpikir di atasnya. Mismatch dapat mengakibatkan belajar hafalan atau belajar temporer, sehingga berakibat konsep yang diperoleh siswa akan mudah dilupakan (Abdussakir, 2010). Karakteristik model Van Hiele sebagai berikut. 
(1) Belajar adalah proses yang tidak kontinu, terdapat “lompatan” dalam kurva belajar seseorang, 
(2) Tahap-tahap tersebut bersifat terurut dan hirarki, 
(3) Konsep yang dipahami secara implisit pada suatu tahap akan dipahami secara ekplisit pada tahap berikutnya, 
(4) Setiap tahap mempunyai kosakata sendiri-sendiri.

PENUTUP

Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasiyang akan diuraikan sebagai berikut.
(a) Tahap pengenalan (visualisasi); dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya;
(b) Tahap analisis; Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu;
(c) Tahap pengurutan (deduksi informal); Pada tahap ini pemahaman anak lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya. Pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri;
(d) Tahap deduksi; Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif dengan menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, disamping unsur-unsur yang didefinisikan aksioma atau masalah, dan teorema; dan
(e) Tahap rigor; Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri adalah tahap keakuratan. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian

Uraian di atas menunjukkan adanya perbedaan karakteristik pembelajaran geomerti yang menggunakan pembelajaran model Van Hiele dengan konvensional yang terletak pada tahapan berpikir siswa dalam belajar. Dengan mengetahui tahapan berpikir siswa, maka pemahaman konsep siswa terhadap materi akan lebih matang.

DAFTAR RUJUKAN

Abdussakir. 2010. Pembelajaran Geometri Sesuai Teori Van Hiele. Artikel dimuat dalam El-Hikmah: Jurnal Kependidikan dan Keagamaan, Vol VII Nomor 2, Januari 2010, ISSN 1693-1499. Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Bobango, J.C. 1993. Geometry for All Student: Phase-Based Instruction. Dalam Cuevas (Eds). Reaching All Students With Mathematics. Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics,Inc

Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M.. 1986. Characterizing the Van Hiele Levels of Development in Geometry. Journal for Research in Mathematics Education. 17(I):31-48

Purnomo, A.. 1999. Penguasaan Konsep Geometri dalam Hubungannya dengan Teori Perkembangan Berpikir Van Hiele pada Siswa Kelas II SLTP Negeri 6 Kodya Malang. Tesis (tidak diterbitkan). Malang: PPS IKIP Malang 

Pusey, E.L. 2003.The Van Hiele Model Of Reasoning In Geometry:A Literature Review. Graduate Faculty of North Carolina State University 

Roebyanto, G dan Harmini, S. 2006. Pembelajaran Geometri yang Berorientasi Pada Teori Van Hiele dalam Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep Segiempat. Termuat pada Jurnal Penelitian Kependidikan Tahun 16, Nomor 1, Juni 2006. Malang: Universitas Negeri Malang

Sudarman. 2000. Pengembangan Paket Pembelajaran Berbantuan Komputer Materi Luas dan Keliling Segitiga untuk Kelas V Sekolah Dasar. Tesis (tidak diterbitkan). Malang: PPS Universitas Negeri Malang

Tambunan, S.M. 2006. Hubungan antara Kemampuan Spasial dengan Prestasi Belajar Matematika.Termuat pada jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10, No. 1, Juni 2006. Jakarta: Universitas Indonesia

Ususkin, Z. 1982. Van Hiele Levels And Achievement Insecondary School Geometry. The University of Chicago: Kimbark Avenue Chicago 

Yazdani, M.A. 2007. The Gagne – Van Hiele s Connection: A Comparative. Analysis of Two Theoretical Learning Frameworks. Virginia: The NCTM, Inc

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »