Budayakan berinteraksi sosial sejak dini |
SMARTPHONE DAN PERAN ORANGTUA DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER
"Beberapa hari ini, dunia pendidikan kembali dihebohkan dengan viralnya video siswi SMP yang melakukan kekerasan dan perundungan terhadap seorang siswi SD di pusat perbelanjaan Thamrin City, Jakarta. Tidak hanya siswa SMP, kasus perundungan pun terjadi di tingkat universitas. Seperti halnya, kasus yang menimpa seorang mahasiswa berkebutuhan khusus di kampus Universitas Gunadarma".
"Bercermin dari 2 kasus tersebut, kita dapat melihat bahwa generasi pendidikan kita saat ini mengalami degradasi moral. Memang benar, kita tidak boleh menggeneralisasi semua insan. Namun, sebagai generasi muda penerus bangsa memang sepatutnya memiliki karakter yang baik. Lantas, bagaimana meningkatkan karakter anak?"
"Di kalangan dunia pendidikan, penumbuhan karakter masih jauh dari harapan. Karakter menjadi isu hangat dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Bahkan masalah karakter menjadi agenda Nawacita pemerintahan Presiden republik Indonesia, Joko Widodo. Dalam butir Nawacita dijabarkan bahwa pemerintah saat ini ingin memperkuat pendidikan karakter melalui gerakan nasional revolsi mental pada setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Merupakan tugas berat bagi pelaku pendidikan untuk menanamkan pendidikan karakter pada peserta didik. Pendidik harus menyadari bahwa pendidikan karakter dapat dijadikan sarana pembentukan perilaku dengan cara menciptakan lingkungan yang kondusif. Dengan lingkungan yang kondusif,dapat membantu pengembangan diri siswa secara intelektual, psikologis, moral, sosial, estetis, dan religius".
"Membangun karakter bukanlah hal yang instan. Artinya, tidak dapat dapat langsung dirasakan sesaat setelah pendidikan tersebut diberikan. Pendidikan membangun karakter merupakan proses panjang yang harus dimulai sejak dini pada anak-anak dan baru akan dirasakan setelah anak-anak tersebut tumbuh menjadi dewasa. Penanaman pondasi karakter harus ditanamkan sejak usia sekolah dasar. Pada usia ini, kecenderungan siswa adalah fase bermain. pendidikan di sekolah dasar diharapkan tidak hanya menekankan aspek kognitif saja, melainkan mampu mengembangkan afektif dan psikomotorik siswa".
"Ternyata, penanaman karakter tidak dapat dilakukan sepihak dalam tatanan dunia pendidikan formal. Peran pendidikan keluarga (orang tua) memberi pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan mental anak. Dilihat dari sisi ketersediaan waktu, orang tua memiliki cukup waktu dalam mengasuh anaknya. Anak-anak kita saat ini berada pada era digital. Mereka dapat dengan mudah memperoleh informasi dari dunia internet. Bahkan, tanpa menutup mata interaksi yang mereka lakukan justru lebih banyak dihabiskan dalam jaringan dunia maya. Apakah anak-anak saja?"
"Beberapa kejadian di lapangan, penulis mengamati tidak jarang orang tua yang justru merasa senang ketika anak-anak mereka nyaman melakukan interaksi dengan internet. Sebagai contoh, seorang ibu yang memberikan smartphone, saat anak tersebut menangis. Sementara, sang ibu pun asyik bersosial media. Banyak pula anak-anak seusia 1 tahun-3 tahun sudah aktif bermain smartphone, dan menangis ketika smartphone tersebut diambil. Perhatikan kembali kasus di Thamrin City, berdasarkan keterangan pelaku tindakan kekerasan dan perundungan terjadi karena korban menulis komentar di facebook yang mengatakan bahwa pelaku adalah seorang anak yang cengeng. Artinya, anak-anak ini sudah menjadi pengguna aktif sosial media. Sosial media menjadi produk yang selalu terinstal pada smartphone. Dengan sosial media sangat memudahkan bagi mereka menemukan bermacam informasi, baik positif maupun negatif. Apakah ini salah smartphone atau perkembangan teknologi?"
"Kita tidak bisa menyalahkan teknologi, percepatan arus informasi, atau konten-konten yang tersedia dari sosial media. Justru, disinilah peran orang tua sebagai filter utama di dalam lingkungan keluarga sangat diperlukan. Dikutip dari kisah Bill Gates, dia justru melarang anak-naknya untuk membawa ponsel hingga umur 14 tahun. Sejalan dengan ini, Steve Jobs juga menyatakan bahwa dia melarang anak-anaknya untuk menggunakan teknologi terbaru. Sebagai orang yang ahli dalam teknologi, mereka meyakini ada dampak negatif yang diberikan jika kita tidak dapat dengan bijak memanfaatkan teknologi dalam kehidupan. Lantas, bagaimana menyikapi pemanfaatan smartphone?
Penulis meyakini bahwa orang tua adalah pribadi yang bijak, menjadi tauladan bagi anak-anaknya. Bijak dalam artian orang tua dapat membatasi screen time, dan membatasi fungsi mesin penjelajah. Pengaturan akun penjelajah seperti Google perlu dilakukan orang tua agar anak tidak dapat mengakses konten-konten yang mengandung unsur kekerasan. Viralnya kasus perundungan tidak terlepas dangan tingkat keaktifan seseorang dalam melakukan pencarian pada mesin penjelajah. Seperti halnya rentang waktu 17.00-22.00 merupakan waktu yang penting untuk kumpul bersama anggota keluarga. Rentang waktu ini dapat kita manfaatkan dengan membatasi penggunaan smartphone. sederhana lain misalnya, tidak membawa handphone saat makan, dan mengatur jadwal anak dalam menonton televisi. Jadi, biarkanlah anak-anak tumbuh normal tanpa tergantung secara signifikan oleh keberadaan smartphone. Ajak mereka lebih sering berinteraksi dengan lingkungannya yang nyata. Ciptakan dan buatlah kondisi layaknya mereka (anak-anak) berada pada situasi saat oarang tua (anda) menjadi anak-anak seusianya. Kondisi dimana anak lebih menghabiskan waktu bermain dengan anak-anak yaang seumuran. Bermain permainan tradisional maupun modern yang melibatkan peran sosial kelompok, bukan permainan yang dapat dilakukan secara individu. Sementara itu, bagi orang tua yang terbiasa memberikan handphone pada anaknya yang menangis, maka perlahan-lahan hentikanlah. Biarkan anak mengalami proses (menangis), agar tidak menjadi pribadi yang harus terpenuhi segala keinginannya (manja). Didiklah anak menjadi pribadi yang tangguh. Semoga, sikap bijak orang tua dalam memanfaatkan teknologi akan melahirkan generasi Indonesia yang cerdas, kuat dan berkarakter."
Penulis meyakini bahwa orang tua adalah pribadi yang bijak, menjadi tauladan bagi anak-anaknya. Bijak dalam artian orang tua dapat membatasi screen time, dan membatasi fungsi mesin penjelajah. Pengaturan akun penjelajah seperti Google perlu dilakukan orang tua agar anak tidak dapat mengakses konten-konten yang mengandung unsur kekerasan. Viralnya kasus perundungan tidak terlepas dangan tingkat keaktifan seseorang dalam melakukan pencarian pada mesin penjelajah. Seperti halnya rentang waktu 17.00-22.00 merupakan waktu yang penting untuk kumpul bersama anggota keluarga. Rentang waktu ini dapat kita manfaatkan dengan membatasi penggunaan smartphone. sederhana lain misalnya, tidak membawa handphone saat makan, dan mengatur jadwal anak dalam menonton televisi. Jadi, biarkanlah anak-anak tumbuh normal tanpa tergantung secara signifikan oleh keberadaan smartphone. Ajak mereka lebih sering berinteraksi dengan lingkungannya yang nyata. Ciptakan dan buatlah kondisi layaknya mereka (anak-anak) berada pada situasi saat oarang tua (anda) menjadi anak-anak seusianya. Kondisi dimana anak lebih menghabiskan waktu bermain dengan anak-anak yaang seumuran. Bermain permainan tradisional maupun modern yang melibatkan peran sosial kelompok, bukan permainan yang dapat dilakukan secara individu. Sementara itu, bagi orang tua yang terbiasa memberikan handphone pada anaknya yang menangis, maka perlahan-lahan hentikanlah. Biarkan anak mengalami proses (menangis), agar tidak menjadi pribadi yang harus terpenuhi segala keinginannya (manja). Didiklah anak menjadi pribadi yang tangguh. Semoga, sikap bijak orang tua dalam memanfaatkan teknologi akan melahirkan generasi Indonesia yang cerdas, kuat dan berkarakter."
Artikel ini termuat pada gurusiana.id
EmoticonEmoticon